Archive for 2012
ABSTRAK
Pembicaraan “sistem
pemerintahan” Indonesia terutama setelah amandemen UUD 1945
menjadi sangat
berguna dan relevan bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan khususnya di
Jurusan Ilmu
Pemerintahan dan praktek berpemerintahan. Karena adanya suatu
perubahan yang
fundamental terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut.
Pendahuluan
Penting untuk
memberikan pengertian apa artinya sistem pemerintahan itu?
Karena suatu konsep
yang sudah baku sekalipun akan bisa lain pengertiannya manakala dilihat dari
berbagai ”kacamata”. Sebagai contoh konsep sistem pemerintahan Indonesia dipenggal
(secara analitik divergen) menjadi ”pemerintahan Indonesia” yang ditinjaun dari
sudut sistem, maka jelas akan berbeda artinya dengan pengertian ”sistem
pemerintahan” yang dianut atau dilaksanakan di ”Indonesia”. Dari pengertian itulah
akan tercermin ruang lingkup sistem pemerintahan yang dimaksud dalam tulisan
ini.Menurut Sri Soemantri pengertian sistem pemerintahan adalah sistem hubungan
antara organ eksekutif dan organ legislatif (organ kekuasaan legislatif). Dua
puluh delapan tahun kemudian, beliau mengatakan lagi bahwa sistem pemerintahan
adalah suatu sistem hubungan kekuasaan antar lembaga negara. Sistem
pemerintahan dalam arti sempit ialah sistem hubungan kekuasaan antara eksekutif
(pemerintah) dan legislatif. Dalam pada itu, sistem pemerintahan dalam arti
luas adalah sistem hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara yang
terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem
pemerintahan dalam arti luas inilah yang dimaksud dengan sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Kemudian Rukmana
Amanwinata menyatakan bahwa sistem pemerintahan
adalah hubungan
antara kekuasaan eksekutif di satu pihak dengan kekuasaan legislatif di lain
pihak. Eksekutif dalam konteks di atas adalah eksekutif dalam arti sempit yaitu
menunjuk kepada kepala cabang kekuasaan eksekutif atau the supreme head of
the executive departement. Apabila dihubungkan dengan UUD 1945, yang
dimaksud dengan kepala cabang kekuasaan eksekutif tersebut adalah Presiden
selaku kepala pemerintahan sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan bahwa
Presiden Indonesia
memegang Kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Senada dengan
pendapat Rukmana Amanwinata di atas, Bagir Manan4
mengungkapkan pula
bahwa sistem pemerintahan adalah suatu pengertian (begrip) yang berkaitan
dengan tata cara pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan (eksekutif) dalam
suatu tatanan negara demokrasi. Dalam negara demokrasi terdapat prinsip geen
macht zonder veraantwoordelijkheid (tidak ada kekuasaan tanpa astuu pertanggungjawaban).
Dengan demikian dalam tulisan ini penulis hanya akan membicarakan konsep ”sistem
pemerintahan” yang sudah baku dan mungkin ”communis opinio doctorum” (diterima
sebagai suatu kesepakatan umum) diantara pakar ketatanegaran bahwa bicara tentang
sistem pemerintahan itu adalah bicara tentang corak hubungan
eksekutif-legislatif ( Sri Soemantri menyebutnya pengertian sistem pemerintahan
dalam arti sempit). Sebab apabila bicara tentang hubungan lembaga-lembaga
Negara yang lain selain eksekutiflegislatif namanya sudah sistem ketatanegaraan
atau sistem pemerintahan dalam arti luas.
Demikian pula dalam
tulisan ini hanya membahas sistem pemerintahan berdasarkan pada UUD 1945
sebelum dan sesudah diamandemen. Bagaimana sistem pemerintahan pada saat di
bawah Konstitusi RIS dan UUDS 1950 tentu saja penulsi tidak akan membahasnya.
Bentuk-bentuk Sistem
Pemerintahan
Dalam teori Hukum
Tata Negara dikenal dua bentuk sistem pemerintahan yaitu
sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil (presidensial). Tetapi dalam
praktek ada juga dikenal sistem pemerintahan campuran yang disebut sistem
parlementer tidak murni atau presidensiil tidak murni.6 Bahkan untuk kasus Indonesia
pra amandemen UUD 1945, Padmo Wahyono menamakannya dengan “sistem MPR” yang
mempunyai kelainan baik dari sistem presidensiil, parlementer maupun sistem
parlementer/presidensiil tidak murni.
Suatu sistem pemerintahan
disebut sistem pemerintahan parlementer8 apabila
eksekutif (pemegang
kekuasaan eksekutif) secara langsung bertanggung jawab kepada badan legislatif
(pemegang kekuasaan legislatif). Atau dengan kata-kata Strong: is it immediately
responsible to parlement, artinya kelangsungan kekuasaan eksekutif tergantung
pada kepercayaan dan dukungan mayoritas suara di badan legislatif. Setiap saat
eksekutif kehilangan dukungan mayoritas dari para anggota badan legislatif (misalnya,
karena adanya mosi tidak percaya), eksekutif akan jatuh dengan cara mengembalikan
mandat kepada Kepala Negara (Raja/Ratu/Kaisar atau Presiden). Dalam hubungan
ini perlu sedikit penjelasan, bahwa keadaan di atas tidak selalu demikian.
Dalam keadaan tertentu, pemegang kekuasaan eksekutif dapat mengadakan perlawanan
terhadap kekuasaan legislatif. Jalan yang ditempuh yaitu dengan cara meminta
Kepala Negara membubarkan badan legislatif dan segera menyelenggarakan pemilihan
umum baru. Tetapi apabila kemudian dalam badan legislatif yang baru ternyata
eksekutif dikalahkan lagi, badan eksekutif diwajibkan mengembalikan mandatnya.
Menurut C.F. Strong,
dalam sistem the parliamentary executive terdapat lima
karakteristik, yaitu
:
“...the political
conception of the Cabinet as a body necessarily consisting :
1. of members of the
Legislature ;
2. of the same
political views, and chosen from the party possessing a majority
in the House of
Commons ;
3. prosecuting a
concerted policy ;
4. under a common
responsibility to be signified by collective resignation in the
event of
parliamentary censure, and
5. acknowledging a
common subordination to one chief minister.
Sistem presidensiil
adalah sistem pemerintahan di mana eksekutif tidak bertanggung jawab pada badan
legislatif. Pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh atau
melalui badan legislatif meskipun kebijaksanaan yang dijalankan tidak disetujui
oleh pemegang kekuasaan legislatif. Terdapat beberapa karakteristik
system pemerintahan
presidensiil atau the non-parliamentary or the fixed executive
menurut C.F. Strong
dan Alan R. Ball menyebutnya sebagai the presidensial types of government,
yaitu :
1. The president is
both nominal and political head of state ;
2. The presiden is
elected not by the legislature, but directly by the total
electorate (the
Electoral College in the United States is a formality, and is
likely to disappear
in the near future). The presiden is not part of the
legislature, and he
cannot be removed from effice by the legislature except
through rare legal
impeachment ;
3. The presiden
cannot disolve the legislature and call a general election.Usually the
president and the legislature are elected for fixed terms.
Seperti dikatakan di
atas bahwa dalam praktek ada juga dikenal sistem
pemerintahan campuran
yang disebut sistem parlementer tidak murni atau presidensiil tidak murni atau
dikenal dengan nama kuasi parlementer atau kuasi presidensiil. Dalam sistem
ini, presiden mempunyai kekuasaan untuk membubarkan legislatif jika bertentangan
dengan konstitusi. Sebaliknya bila presiden melanggar UUD, legislatif pun dapat
menjatuhkan presiden. Bentuk sederhana dari mekanisme sistem pemerintahan kuasi
ini adalah :
Sistem Pemerintahan
Indonesia Pra Amandemen UUD 1945
Bagaimana sistem
pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945 sebelum
amandemen? Ada tiga
macam kelompok pendapat yang lazim. Pertama mereka yang berpendapat bahwa
Republik Indonesia adalah bersistem presidensiil (Ismail Sunny, Mariam
Budiarjo, Bagir Manan). Kedua, mereka yang berpendapat bahwa Republik Indonesia
bersistem campuran (Usep Ranawijaya, Sri Sumantri). Ketiga adalah pendapat
Padmo Wahyono dengan “sistem MPRnya”.
Menurut Bagir Manan
Indonesia menganut sistem presidensiil murni karena
Presiden adalah
Kepala Pemerintah. Ditambah pula dengan ciri-ciri lain yaitu:
a. Ada kepastian masa
jabatan Presiden (5 tahun).
b. Presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR; dan
c. Presiden tidak
dapat membubarkan DPR.
Mereka yang
berpendapat bahwa Republik Indonesia bersistem campuran, karena
selain memenuhi
syarat-syarat ciri presidensiil, terdapat pula ciri parlementer. Presiden bertanggung
jawab kepada MPR. Sedangkan MPR berwenang membuat ketetapanketetapan. Jadi MPR
adalah badan legislatif. Presiden bertanggung jawab kepada MPR. berarti
bertanggung jawab kepada badan legislatif. Menurut Sri Soemantri ditinjau dari segi
pertanggungan jawab para Menteri serta penentuan masa jabatan Presiden selama 5
tahun, maka sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 ialah
sistem presidensiil. Akan tetapi Presiden bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat, yang berarti adanya segi parlementer. Oleh karena demikian Undang-Undang
Dasar yang berlaku sekarang ini sebenarnya menganut sistem pemerintahan yang
mengandung segi presidensiil dan parlementer. Atas dasar uraian tersebut kita
(Sri Soemantri) pula mengatakan, bahwa sistem yang dianut adalah sistem campuran.
Menurut Bagir Manan
baik John Lock maupun Montesquieu, menyatakan badan
legislatif adalah
badan yang membuat “ laws”. Dan istilah “laws”, lazim diterjemahkan
menjadi undang-undang. Sehingga dalam buku-buku bahasa Indonesia selalu
dikatakan bahwa badan legislatif adalah badan pembuat undang-undang. Kata “laws”
tidak pernah diterjemahkan dengan “hukum”, karena “law” dalam arti
“hukum” tidak mengenal bentuk jamak. Di samping itu istilah “hukum” mencakup
hukum tidak tertulis. Apakah “laws” tidak lebih tepat diterjemahkan
dengan “hukum perundang-undangan”. Dengan demikian badan legislatif adalah
badan pembuat hukum perundang-undangan. Kalau demikian halnya, maka semua yang
berwenang membuat hukum perundang-undangan adalah badan legislatif, termasuk
presiden (mengeluarkan PP, Kep. Pres), Menteri (mengeluarkan peraturan
Menteri). Hal ini tidak mungkin. Presiden bagaimanapun adalah badan eksekutif ,
begitu pula menteri, mungkin saja mereka memiliki atau menjalankan fungsi
legislatif, tetapi bukan badan legislatif. Maka lebih tepat “laws” itu
diterjemahkan dengan “ undang-undang”. Dan undang-undang adalah sekadar salah
satu jenis saja dari berbagai hukum perundang-undangan. Dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, Undang-undang adalah hukum
perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden (eksekutif) dengan persetujuan DPR
(legislatif). Karena MPR bukan pembuat undangundang, maka bukan badan
legislatif. Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, bukan pertanggungjawaban
kepada badan legislatif. Sehingga unsur parlementer tidak ada sama sekali.
Pertanggungjawaban presiden kepada MPR, tidak boleh di samakan dengan pertanggungjawaban
kabinet kepada parlemen dalam sistem parlementer.
Menurut Bagir Manan
pertanggungjawaban Presiden kapada MPR merupakan
upaya konstitusional
untuk checking dan balancing. Karena itu meminta
pertanggungjawaban
Presiden dalam masa jabatannya hanya dilakukan kalau keadaan sedemikan rupa
sehingga tidak ada pilihan lain. Ini, semacam pranata impeachment di
Amerika Serikat sebagai senjata konstitusional yang bersifat preventif daripada
reprensif. Sehingga sampai saat ini belum pernah terjadi seorang Presiden
Amerika berhenti karena impeachment. Apabila pranata pertanggungjawaban
Presiden kepada MPR disejajarkan dengan pertanggungjawaban kabinet kepada
parlemen, maka salah satu esensi UUD 1945
yaitu “eksekutif yang
kuat dan stabil” menjadi tidak berarti apa-apa lagi. Oleh karena
MPR bukan badan legislatif,
dan pertanggungjawaban presiden kepada MPR tidak dapat disejajarkan dengan
pertanggungjawaban kabinet kepada parlementer (dalam sistem parlementer), maka
UUD 1945 tidak mengandung segi-segi atau unsur parlementer. Unsur yang ada
adalah presidentiil. Dengan demikian UUD 1945 itu menganut sistem presidentiil
murni, bukan campuran.
Menurut Prof.
Padmo Wahyono, sistem pemerintahan negara Indonesia adalah
sistem MPR karena
alasan-alasan sebagai berikut :
1. Penyelenggara
negara berdasarkan kedaulatan rakyat adalah MPR.
2. Penyelenggara
pemerintahan negara adalah kepala negara selaku mandataris
MPR.
3. Penyelenggara
negara pembentuk peraturan perundangan ialah mandataris
MPR bersama-sama
dengan DPR sebagai bagian dari MPR.
4. Penentu terakhir
dalam hal pengawasan jalannya pemerintahan ialah MPR.
Kemudian apabila
meninjau rumusan sistem pemerintahan berdasarkan
Penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 maka akan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
I. Indonesia ialah
Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat)
Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat).
II. Sistem
Konstitusional.
Pemerintahan
berdasarkan atas sistem konstitusi (Hukum Dasar) tidak bersifat
Absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas).
III. Kekuasaan Negara
yang tertinggi berada di tangan Majelis Permusyawaratan
Rakyat.(Die
gezamte Staatsgewalt liegt allein bei der Majelis). Kedaulatan rakyat
dipegang ole h suatu Badan, bernama “Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sebagai penjelmaan
seluruh Rakyat ndIonesia (Vertretungsorgan des Willens des staatsvolkes).
Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar, dan menetapkan garis-garis besar haluan
Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara
(Wakil-Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi,
sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang
telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan
bertanggung-jawab kepada Majelis. Ia ialah “Mandataris” dari Majelis ia
berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben”
akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.
IV. Presiden ialah
Penyelenggara Pemerintah Negara yang tertinggi dibawah Majelis. Dibawah Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara
pemerintahan Negara
yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan Negara,
Kekuasaan dan
tanggung-jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility
upon the President).
V. Presiden tidak
bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Disampingnya Presiden
adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden harus
mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-undang
(Gezetsgebung)
dan untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(“Staatsbegrooting”).
Oleh karena itu Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden
tidak bertanggung-jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung
daripada Dewan.
VI. Menteri Negara
ialah pembantu Presiden. Menteri Negara tidak bertanggung
jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri
Negara. Menterimenteri itu tidak bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, kedudukannya tidak tergantung daripada Dewan, akan tetapi tergantung
daripada Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden.
VII. Kekuasaan Kepala
Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala
negara tidak bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan
“diktator”, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Diatas telah ditegaskan bahwa
ia bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaran Rakyat kecuali itu ia harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara
Dewan Perwakilan
Rakyat. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan
oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Kecuali itu anggotaanggota
Dewan Perwakilan Rakyat semuanya merangkap menjadi anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Oleh karena itu Dewan Perwakilan rakyat dapat senantiasa mengawasi
tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh
melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk
persidangan istimewa supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.
Menteri-menteri Negara bukan pegawai tinggi biasa. Meskipun kedudukan
Menteri negara
tergantung dari pada Presiden, akan tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa
oleh karena Menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir
executief) dalam praktek. Sebagai pemimpin Departemen, Menteri mengetahui
seluk beluk hal-hal yang mengenai lingkungan pekerjaannya. Berhubung dengan itu
Menteri mempunyai pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik
Negara yang mengenai Departemennya. Memang yang dimaksud ialah, para Menteri
itu Pemimpin-pemimpin Negara. Untuk menetapkan politik pemerintah dan
koordinasi dalam pemerintahan Negara para Menteri bekerja bersama-sama, satu
sama lain seerat-sertnya di bawah pimpinan Presiden.
Menurut Padmo Wahyono
yang dikutip oleh Bintan R. Saragih22, ketujuh unsur di
atas (dalam sistem
pemerintahan menurut UUD 1945) membentuk satu sistem
pemerintahan negara
atau bentuk pemerintah (Ilmu Negara). Sistem pemerintahan negara yang lazim
dikenal di dalam Hukum Tata Negara ialah sistem presiden (siil) dan
sistemparlemen (ter). Namun dengan adanya perbedaan prinsipil dengan kedua
klise ilmiah tersebut, maka menurut Padmo Wahyono berdasarkan teori bernegara
bangsa Indonesia dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan negara Indonesia
ialah sistem-MPR. Sistem- MPR, berporoskan MPR sebagai negara tertinggi, di
mana apabila dikaji dengan analisisanalisis klasik maka:
a. Penyelenggara
negara berdasarkan kedaulatan ialah MPR;
b. Penyelenggara
negara yang Kepala Negara ialah Mandataris MPR;
c. Penyelenggara
negara pembentuk peraturan perundangan ialah Mandataris MPR,
bersama-sama dengan
DPR sebagai bagian dari MPR;
d. Penentu terakhir
dalam hal pengawasan jalannya pemerintahan ialah MPR;
Dalam menentukan
sistem pemerintahan apa yang dianut UUD 1945? penulis
mengikuti pendapat
Bagir Manan23, bahwa sistem pemerintahan yang dikehendaki UUD 1945 adalah
sistem presidensiil. Sehingga pertanggungjawaban eksekutif (Presiden) kepada
MPR bukan dalam rangka pertanggungjawaban kepada parlemen seperti dalam sistem
parlementer, sehingga setiap kebijakan Presiden bisa dinilai dan Presiden bisa dijatuhkan
kapan saja karena ada persepsi yang berbeda antara MPR dengan Presiden.
Presiden hanya bisa
dijatuhkan jika “sungguh”24 telah melanggar UUD 1945 dan haluan negara lainnya.
Kemudian, agar semua orang memahaminya dengan jelas (tidak debatable)
bahwa sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 itu sistem presidensial murni
maka amandemen UUD 1945 harus menyentuh persoalan ini. Penulis memahami
pemikiran Sri Bintang Pamungkas yang menyebutkan bahwa keruwetan sistem politik
penyelenggaraan negara ini akan tetap berlangsung, tidak pernah selesai,
berulang kembali, dan setiap pergantian Presiden akan selalu diwarnai dengan
berbagai krisis yang “tidak
konstitusional”,
karena apa yang dimaksud dengan “konstitusional” (baca : presidensiil atau
parlementer) dalam UUD 1945 memang “tidak jelas”.25 Penulis tambahkan “tidak jelas”
itu bagi kebanyakan orang.
Sistem Pemerintahan
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945
Pasca amandemen UUD
1945 sistem pemerintahan NKRI menjadi benar-benar
presidensiil. Hal ini
dapat teridentifikasi dengan mudah setelah Presiden dan Wakil
presiden dipilih
langsung oleh Rakyat dalam suatu Pemilihan Umum. Seperti yang telah digambarkan
di atas bahwa ciri-ciri sistem pemerintahan presidensiil adalah baik eksekutif
maupun legislatif dipilih langsung oleh rakyat dan antara keduanya tidak ada hubungan
pertanggungjawaban. Ciri utama yang lain dari sistem pemerintahan Presidensiil
adalah bahwa pemegang kekuasaan eksekutif tunggal (presiden) tidak bertanggung
jawab kepada badan perwakilan rakyat, melainkan langsung kepada rakyat pemilih,
karena presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih melalui badan pemilih
(electoral college) seperti di Amerika Serikat.
Sehubungan dengan
sistem pemerintahan ini, amandemen UUD 1945 sudah
cukup baik mengadopsi
ciri-ciri sistem pemerintah Presidensiil yang semakin menguat jaring-jaring
yang akan menjamin stabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini ditandai
dengan adanya klausula pemilihan Presiden (dan Wapres) secara langsung oleh rakyat.
Presiden tidak lagi tunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Apapun perbedaan
pandangan antara Presiden dan MPR, Presiden akan tetap sampai habis masa jabatannya.
Satu-satunya cara untuk menjatuhkan Presiden dalam masa jabatannya adala melalui
pranata “impeachment”. Tetapi dasar “impeachment” itu terbatas,
baik secara
substansial maupun
prosedural tidak mudah dilaksanakan. Impeachment hanya dapat dilakukan
apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan , tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela dan
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dengan demikian, perubahan UUD
1945 telah cukup baik menentukan jaring-jaring yang menjamin stabilitas
penyelenggaraan pemerintahan, termasuk kemungkinan memberhentikan Presiden
dalam masa jabatannya melalui pranata impeachment meskipun tidak mudah
dilakukan.
Menurut I Gde Pantja Astawa26,
masih sangat disayangkan bila mekanisme
ataupun prosedur impeachment
untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya yang apabila memenuhi
ketentuan pasal 7 A, menjadi lain bila dihadapkan dengan ketentuan pasal 7 B,
terutama pada ayat (7) perubahan ketiga UUD 1945. Artinya, jika oleh Mahkamah
konstitusi diputuskan bahwa Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal 7
A, apa reasoningnya kemudian MPR (masih) memberi kesempatan kepada
Presiden untuk
menyampaikan penyelasan dalam rapat paripurna MPR. Jika itu yang terjadi, ada
kemungkinan Presiden tidak diberhentikan oleh MPR meskipin Mahkamah Konstitusi
sudah (jelas-jelas) memutuskan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasal
7 A. Memang MPR adalah institusi/badan politik yang memiliki wewenang untuk memberhentikan
ataupun tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya. Sebagai badan
politik, tentu sajaa pertimbangan-pertimbangan MPR dalam mengabil keputusan
(memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya) lebih
diwarnai oleh nuansa politis, sungguhpun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi
yang menyatakan presiden bersalah secara hukum. Persoalannya kemudian bukan
terletak pada keberadaan MPR itu sebagai institusi politik, melainkan lebih
terletak pada komitmen MPR itu sendiri untuk menghormati proses hukum sebagai bagian
dari upaya penegakan hukum dalam kerangka supremasi hukum. Dalam konteks ini,
tidak ada alasan bagi MPR untuk tidak memberhentikan Presiden dalam masa
jabatannya apabila
mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Presiden telah terbukti
memenuhi ketentuan
pasal 7 A. Seabab, jika tidak, untuk apa dan apa gunanya Presiden diusulkan
untuk diadili ke Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan apa pula gunanya putusan MK
yang menyatakan Presiden telah terbukti memenuhi ketentuan pasa 7 A bila MPR kemudian
tidak memberhentikan Presiden dengan alasan dan pertimbangan politik ? Hak itu
sama saja hendak menegaskan bahwa hukum (akan selalu ) tunduk pada kekuasan dan
bukan sebaliknya sebagai perwujudan prinsip supremasi Hukum di Indonesia.
Penutup
Bahwa bicara tentang
sistem pemerintahan yang lazim adalah bicara tentang
perhubungan kekuasaan
(de onderlinge) antara eksekutif dan legislatif. Sebelum
amandemen UUD 1945
sistem pemerintahan NKRI susah mengidentifikasinya sehingga ada yang
berpendapat : menganut sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan campuran
bahkan sistem tersendiri yang disebut ”sistem MPR”. Tetapi pasca amandemen UUD
1945 sistem pemerintahan NKRI adalah sistem presidensiil murni.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku.
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung
:
Mandar Maju, 1995.
---------------, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta : Pusat
Studi Hukum UII – GAMA
Media, 1999.
---------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta
: PSH FH UII, 2001.
Bintan R. Saragih, Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jakarta :
Gaya Media Pratama,
1992.
---------------------, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di
Indonesia, Jakarta
: Perintis Press, 1985.
Pringgodigdo, H.A.K., Tiga Undang-Undang Dasar , Jakarta :
PT. Pembangunan, 1989.
Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN.
Bandung : Tarsito,
1976.
----------------, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945.
Bandung : Citra
Aditya Bakti, 1993.
Strong, C.F., Modern Political Constitutions, Perbanyakan
Fakultas Hukum Unpad,
1973.
B. Sumber Lain.
I Gde Pantja Astawa, Identifikasi Masalah Atas Hasil Perubahan UUD
1945 Yang
Dilakukan oleh MPR dan Komisi Konstitusi, Makalah, pada tgl 3 September
2004, di Gedung Notariat FH Unpad, Bandung.
Sri Bintang Pamungkas, Sistem MPR : Pengingkaran Kedaulatan Rakyat
Tanggapan untuk Harry Tjan Silalahi, Harian KOMPAS, Selasa, 19 Juni
2001.
Sri Soemantri M, Perkembangan Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen 1945, dalam buku Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan
Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Malang : Asosiasi
Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur kerja sama dengan In-Trans,
Februari 2004,
makalah sistem pemerintahan
OLEH : DIVI.K/HUKUM IV
DEFINISI
Outsourcing
Dalam era globalisasi dan
tuntutan persaingan dunia usaha yang ketat saat ini, maka perusahaan dituntut
untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi
yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi
maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus
menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada
pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah “outsourcing.”
Atau dengan kata lain outsourcing atau alih daya merupakan proses pemindahan tanggung
jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain diluar perusahaan
induk. Perusahaan diluar perusahaan induk bisa berupa vendor, koperasi ataupun
instansi lain yang diatur dalam suatu kesepakatan tertentu. Outsourcing dalam regulasi
ketenagakerjaan bisa hanya mencakup tenaga kerja pada proses pendukung (non--core business unit) atau secara
praktek semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing. (Sumber :“Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”, http://malangnet.wordpress.com)
Outsourcing
menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan khususnya bagi tenaga kerja. Oleh
sebab itu terdapat pro dan kontra terhadap penggunaan outsourcing.
Pro –
Kontra Penggunaan Outsourcing
PRO OUTSOURCING
|
KONTRA
OUTSOURCING
|
-
Business owner bisa fokus pada core business.
-
Cost reduction.
-
Biaya
investasi berubah menjadi biaya belanja.
-
Tidak lagi
dipusingkan dengan oleh turn over
tenaga kerja.
-
Bagian dari modenisasi dunia
usaha (Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)
|
-
Ketidakpastian
status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja. (Sumber: www.hukumonline.com)
-
Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit
antara karyawan internal dengan karyawan outsource.
(Sumber: “Outsourcing, Pro dan
Kontra” http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-
Career Path di outsourcing seringkali kurang terencana dan terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra”
http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
-
Perusahaan pengguna jasa sangat mungkin memutuskan
hubungan kerjasama dengan outsourcing
provider dan mengakibatkan ketidakjelasan status kerja buruh. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra”
http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
|
(Informasi dari berbagai sumber hasil browsing di
internet)
1. Undang-undang Mengenai Outsourcing
Untuk
mengantisipasi kontra yang terjadi dalam penggunaan outsourcing, maka dibuat Undang-undang No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, khususnya Bab IX tentang Hubungan Kerja, yang didalamnya
terdapat pasal-pasal yang terkait langsung dengan outsourcing. Berikut dijabarkan isi dari undang-undang tersebut.
·
Pasal 50 – 55, Perjanjian
Kerja
·
Pasal 56 – 59, Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Pasal
59
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
1.
Pekerjaan yang sekali selesai
atau yang sementara sifatnya;
2.
Pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga)
tahun;
3.
Pekerjaan yang bersifat
musiman;
4.
Pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat
tetap.
(3)
Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4)
Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu yang didasarkan atas jangaka
waktu tertentu dapat diadakan untuk paling
lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun.
·
Pasal 60 – 63, Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Terbatas (PKWTT)
·
Pasal 64 – 66, Outsourcing
Pasal
64
Perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerja kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pasal 65
(1)
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang
dibuat secara tertulis.
(2)
Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lai
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebaga
berikut:
a.
Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.
Dilakukan dengan perintah langsung
atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.
Merupakan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan; dan
d.
Tidak menghambat proses produksi secara langsung
(3)
Perusahaan
lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(4)
Perlindungan
kerja dan yarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5)
Perubahan
dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(6)
Hubungan
kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dalam perjanjian kerja secara tertulisa antara perusahaan lain dan
pekerja/buruh yang dipekerjakan.
(7)
Hubungan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian
kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(8)
Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi,
maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan
pemberi pekerjaan.
Pasal 66,
Penyediaan jasa pekerja./buruh untuk kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
harus memenuhi syarat sebagai berikut : Adanya hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerj/buruh;
Pasal 1 ayat 15, “Hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa
penunjang atas kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Langkah-langkah
Penerapan Sistem Outsourcing
Ketentuan
Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan dan putusan Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2004, menjadi legitimasi tersendiri bagi keberadaan outsourcing di Indonesia. Artinya,
secara legal formal, sistem kerja outsourcing
memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterapkan. Keadaan demikian yang membuat
pengusaha menerapkan sistem ini.
(Sumber: “Hadang Outsourcing
dengan Framework Agreement”, www.hukumonline.com).
Dimuatnya
ketentuan outsourcing pada
Undang-Undang Tenaga Kerja dimaksudkan untuk mengundang para investor agar mau
berinvestasi di Indonesia.
Penggunaan
outsourcing seringkali digunakan
sebagai strategi kompetisi perusahaan untuk fokus pada core business-nya. Namun, pada prakteknya outsourcing didorong oleh keinginan perusahaan untuk menekan cost hingga serendah-rendahnya dan
mendapatkan keuntungan berlipat ganda walaupun seringkali melanggar etika
bisnis. (Sumber : “Seputar Tentang Tenaga Outsourcing”,
malangnet.wordpress.com)
Berdasarkan
hasil penelitian terhadap 44 perusahaan dari berbagai industri terdapat lebih
dari 50% perusahaan di Indonesia menggunakan tenaga outsource, yaitu sebesar
73%. Sedangkan sebanyak 27%-nya tidak menggunakan tenaga outsource dalam
operasional di perusahaannya.
Dari
73% perusahaan yang menggunakan tenaga outsource
diketahui 5 alasan menggunakan outsourcing,
yaitu agar perusahaan dapat fokus terhadap core
business (33.75%), untuk menghemat biaya operasional (28,75%), turn over karyawan menjadi rendah (15%),
modernisasi dunia usaha dan lainnya, masing-masing sebesar 11.25%, seperti
terlihat dalam gambar 4. Adapun yang menjadi alasan lainnya adalah :
a.
Efektifitas
manpower
b.
Tidak
perlu mengembangkan SDM untuk pekerjaan yang bukan utama.
c.
Memberdayakan
anak perusahaan.
d.
Dealing
with unpredicted business condition.
Outsourcing,
tidak terlepas dari perusahaan penyedia (provider) jasa tenaga outsource. Perusahaan harus memilih provider yang sesuai dengan apa
yang dibutuhkan dimana perusahaan outsourcing
tersebut harus teruji kualitas yang dijanjikan, serta adanya kesepatan untuk
membuat hubungan jangka panjang. (Sumber: ”Kesulitan Outsourcing di Indonesia.” http://rahard.wordpress.com)
Oleh
sebab itu, perlu diketahui faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam
pemilihan provider jasa tenaga outsource,
Berdasarkan
hasil survei, diketahui bahwa harga menjadi faktor utama dalam pemilihan
partner outsourcing (22.62%).
Sedangkan reputasi yang baik dari provider
outsource menempati posisi kedua yaitu sebesar 21.43%. Untuk tenaga outsource yang dimiliki sesuai dengan
kebutuhan perusahaan (19.05%), pengetahuan provider outsource terhadap proses bisnis perusahaan (11.90%). Pengalaman
sebelumnya menempati posisi kelima dalam pemilihan partner outsourcing (10.71%), diikuti oleh stabilitas provider outsource (8.33%) dan lainnya sebesar
5.95%. Adapun faktor-faktor
lainnya adalah pemenuhan persyaratan ketentuan tenaga kerja dan
penyerapan tenaga terdekat dengan unit kerja.
Jenis pekerjaan yang dapat menggunakan outsourcing adalah pekerjaan-pekerjaan
yang bukan merupakan tanggungjawab inti dari perusahaan.
Adapun
komposisi jenis pekerjaan yang paling banyak menggunakan tenaga outsource adalah cleaning service (56.82%), security
(38.64%), lainnya (36.36%), driver (25%), sekretaris (22.73%), customer service
(13.64%) dan SPG (9.09%),. Untuk jenis pekerjaan
lainnya terdiri dari:
§ Bagian
pengepakan barang (packing).
§ Helper baik untuk maintenance maupun mechanic.
§ Facilitator training,
§ Resepsionis/operator
telepon.
§ Data entry.
§
Call
center.
2. Masalah Umum Yang Terjadi Dalam
Penggunaan Outsourcing
1.
Penentuan partner outsourcing.
Hal ini menjadi sangat krusial karena
partner outsourcing harus mengetahui
apa
yang menjadi kebutuhan perusahaan serta
menjaga hubungan baik dengan
partner outsourcing.
2. Perusahaan outsourcing harus berbadan hukum.
Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak
tenaga outsource, sehingga mereka
memiliki kepastian hukum.
3.
Pelanggaran ketentuan outsourcing.
Demi mengurangi biaya produksi, perusahaan
terkadang melanggar ketentuan-
ketentuan yang berlaku. Akibat
yang terjadi adalah demonstrasi buruh yang
menuntut hak-haknya. Hal ini
menjadi salah satu perhatian bagi investor asing
untuk mendirikan usaha di Indonesia.
4. Perusahan outsourcing memotong gaji tenaga kerja tanpa ada batasan
sehingga,
yang mereka terima, berkurang lebih banyak. (Sumber:
“Sistem Outsourcing Banyak
Disalahgunakan”, www.fpks-dpr.or.id)